Gaming

Mengulas tentang dunia Game

Sejarah

Mengulas berbagai sejarah di dunia

Indonesia

Mengulas tentang Negara Indonesia

Pembelajaran materi dan Tutorial

Memberikan Materi dan Tutorial

Dan Lain-Lain

Mengulas berbagai hal lain...

Wednesday, September 30, 2015

Sejarah Pertempuran Atlantik (1939-1945)


Pertempuran Atlantik (1939-1945). Kalau Saja Jerman Mempunyai Lebih Banyak U-Boat, Sudah Pasti Dia Menang Perang!


Großadmiral Karl Dönitz, panglima U-boat berotak brilian yang membuat Inggris begitu sengsara di awal-awal perang. Banyak yang berpendapat bahwa hukuman berat yang telah diterimanya di pengadilan Nürnberg adalah bukan karena kejahatan-kejahatan perang yang telah dilakukannya, melainkan semata karena dia telah begitu banyak menimbulkan kerugian bagi pelayaran Sekutu!



Ini adalah diagram U-486, salah satu dari sekian banyak U-boat Jerman bertipe VII-C



Awak U-boat sedang memasukkan sebuah torpedo ke dalam kapal selamnya. Pada awalnya, kualitas torpedo Jerman begitu buruknya sehingga beberapa U-boat tercatat tenggelam dikarenakan torpedo sendiri, salah satunya adalah U-47 yang terkenal di bawah komandan Günther Prien



Sebuah tanker terbakar dengan hebat sebelum tenggelam di pantai Amerika dalam periode yang disebut sebagai "The second happy time"



U-boat sedang berangkat menuju tugas patrolinya. Di sebelah kanan adalah kapal penjaga pantai Jerman



Salah satu yang paling membahagiakan bagi para awak U-boat di lautan (selain dari menghancurkan kapal musuh) adalah ketika mereka bertemu dengan rekan seperjuangannya di U-boat lain.



U-47 dielu-elukan oleh para penonton ketika tiba di pelabuhan Jerman tak lama setelah secara menggemparkan berhasil menenggelamkan kapal perang Inggris di pangkalannya sendiri. Sang komandan yang bermental baja, Günther Prien, berada di menara pengawas



Karl Dönitz bersa
ma dengan Korvettenkapitän Adalbert Schnee (kiri) dan Konteradmiral Eberhard Godt, dua orang staffnya yang paling terpercaya, sedang merundingkan strategi di markas besar U-boat di Prancis



Kapten U-boat terbesar dalam Perang Dunia II, Fregattenkapitän Otto Kretschmer, sedang berunding dengan para perwiranya di U-99



Perangko Jerman yang memperlihatkan gambar U-boat dan korbannya




“Satu-satunya hal yang paling menakutkanku dalam perang ini adalah ancaman u-boat!” – Winston Churchill



Ketika Perang Dunia II bermula, Inggris melihat bahwa ancaman terbesar Jerman bagi rute perdagangan lautnya adalah kapal-kapal perangnya, sama seperti Hitler yang juga berpendapat begitu. Diperkirakan bahwa kapal-kapal perang Jerman yang baru dibangun akan menyerang armada dagang yang keluar-masuk daratan Inggris, dimana Inggris sangat tergantung darinya dalam hal persediaan makanan, sebagian besar dari bahan mentah untuk pembuatan mesin-mesin perangnya, dan juga minyak. Bila masih ada yang tersisa dari sergapan kapal-kapal perang ini, maka akan dibereskan oleh u-boat yang beroperasi di perairan pantai. Yang terjadi kemudian membuktikan bahwa pandangan ini sepenuhnya salah, karena ancaman terbesar bagi Inggris dari laut bukanlah terletak pada kapal perang Jerman, melainkan justru u-boat yang sebelumnya dianggap remeh!



Setidaknya satu orang tahu akan hal ini : Admiral Karl Dönitz, panglima armada U-boat. Dia dapat juga salah bila saja Hitler mampu menunda perang dengan Inggris sampai semua kapal perang yang diperuntukkan bagi Angkatan Lautnya selesai dibangun. Yang jelas, Dönitz mempunyai keyakinan tak tergoyahkan bahwa dengan kapal selam yang cukup, maka dia akan memenangkan peperangan di lautan, sesuatu yang pernah dia buktikan sendiri sebagai seorang komandan U-boat 29 tahun sebelumnya.



“Pada bulan Oktober 1918, aku adalah seorang kapten kapal selam di Mediterania, dekat Malta. Di satu malam aku bertemu dengan konvoy Inggris yang dikawal oleh kapal-kapal perusak dan penjelajah. Aku menyerang dan menenggelamkan sebuah kapal. Saat itu aku sadar bahwa kemungkinan untuk menenggelamkan lebih banyak kapal akan terbuka bila saja ada lebih banyak u-boat. Disitulah ide Wolf Pack muncul, untuk mengumpulkan kapal selam bersama-sama, dan menyerang bersama-sama pula. Di rentang tahun 1918 sampai dengan 1935, ketika kita diizinkan mempunyai kapal selam kembali, aku tidak pernah melupakan gagasan ini.” – Karl Dönitz.




Di bawah air, para U-boat era 1939 itu bergerak lambat bagaikan keong, sementara di permukaan maka kecepatannya mampu menyaingi konvoy kapal dagang manapun. Dengan siluet rendahnya maka keberadaannya tak gampang terdeteksi, terutama di malam hari, sementara musuhnya dapat dengan jelas terlihat hanya dengan mengandalkan periskop yang dinongolkan sedikit di permukaan laut. Dan jangan lupakan pula radio! Dengan ini, para U-boat ini bisa ‘janjian’ bertemu untuk selanjutnya menyerang secara berkelompok. Dönitz tahu bahwa Inggris akan mencoba untuk melindungi jalur perdagangan Atlantiknya yang sangat penting dengan menerapkan sistem konvoy yang dikawal oleh kapal perang. Untuk menghancurleburkan sistem ini dan kemudian memenangkan perang, Dönitz memperkirakan bahwa sedikitnya dia butuh 300 buah kapal selam. Lalu apa yang ada dalam tangannya ketika perang pecah? hanya ada 27 U-boat yang operasional, itupun harus melalui perjalanan yang berbahaya dari pangkalan menuju ke sasarannya! Untung saja, ketika Prancis jatuh, Dönitz mendapatkan pangkalan-pangkalan baru yang lebih dekat lagi ke jalur pelayaran.



Dalam kenyataannya, ketika dalam perjalanan ke Lorient tak lama setelah kejatuhan Prancis, Karl Dönitz dan ajudannya bertemu dengan dua orang pengungsi yang bergerak ke arah barat. Dia memberi tumpangan pada kedua orang tersebut, yang ternyata kemudian diketahui adalah orang Yahudi Jerman yang berusaha menyelamatkan diri dari negaranya! Ketika menurunkan mereka di tempat yang dituju di Le Mans, Dönitz menitip pesan, “sampaikan salam saya pada Inggris!”




Setelah pangkalan-pangkalan ini selesai dibangun, maka para Serigala Lautan (Sea Wolves) ini akan kembali dari patroli yang mereka jalani sebagai pahlawan. Salah satu yang paling spesial pake telor adalah Otto Kretschmer, yang secara keseluruhan telah menenggelamkan 46 kapal dengan total tonase 274.333 ton! Di bulan Oktober 1940 dia bergabung dengan sistem Wolf Pack pertama yang sebenarnya, dan merupakan pengejawantahan dari impian Dönitz selama berpuluh-puluh tahun.



“Aku ingat bahwa ada sinyal yang memberitakan tentang adanya konvoy yang datang dari Amerika menuju Inggris, meskipun posisinya saat itu belum diketahui. Dönitz memerintahkan setiap kapal selam untuk bergerak ke barat Irlandia demi melakukan semacam garis pengintaian dan membiarkan konvoy tersebut lewat untuk sementara dan masuk ke jalur tembakannya. Ketika satu kapal selam kemudian dipergoki, konvoy tersebut langsung memberikan sinyal tanda bahaya ke kapal lainnya. Disinilah jalur kapal selam kami berpencar untuk kemudian menyerang sendiri-sendiri secara bebas.” – Otto Kretschmer.




Großadmiral Erich Raeder memperlihatkan kepercayaan penuh kepada Führernya ketika dia memberi instruksi pada para kru U-boat dalam sebuah latihan senjata di musim panas 1939. Raeder meyakinkan bahwa sang Führer telah berjanji kepadanya bahwa tak akan ada perang dalam keadaan apapun dengan Inggris, karena itu akan berarti “Finis Germaniae”. Sementara Dönitz, yang selalu terbuka pada anak buah yang sangat dicintainya, menegaskan bahwa dalam situasi seperti ini maka dia tidak akan mempercayai janji pemimpinnya sendiri, dan sebagai seorang komandan dia harus selalu bersiap-siap untuk menghadapi keadaan seperti apapun. Yang dapat dia lakukan hanyalah mengulangi permintaannya untuk disediakan 300 buah U-boat, karena junlah inilah yang akan secara efektif menutup jalur perdagangan laut Inggris, dan melumpuhkannya secara ekonomi. Dalam waktu hanya 6 minggu, yang tak terbayangkan itu terjadi. Polandia diinvasi dan 2 hari kemudian Inggris dan Prancis menyatakan perang terhadap Jerman. Dönitz tak pernah menyembunyikan prediksinya bahwa tak lama Jerman akan terlibat perang kembali, tapi tetap saja berita ini memukulnya bagaikan palu godam. Propaganda Goebbels dengan gencar memberitakan bahwa Jerman telah dipaksa masuk ke dalam perang yang tak pernah diinginkannya. Dönitz lebih memikirkan hal lain yang lebih serius : Kriegsmarine belum siap untuk menghadapi perang ini. Inggris dan Prancis mempunyai kapal perang 10 kali lebih banyak dari Jerman, sehingga Dönitz tak melihat ada jalan bagaimana Kriegsmarine dapat memenangkan perang di lautan dengan kekuatan pas-pasan yang dipunyainya saat itu. Situasinya sendiri, di matanya, adalah sangat genting. Semua 3000 orang anggota U-boat adalah orang-orang yang sangat terlatih, tapi mereka hanya mempunyai 57 kapal selam, bahkan itupun kebanyakan hanya “bebek-bebek” yang berbobot 250 ton, dan diperuntukkan di operasi pantai saja. Hanya 27 kapal yang mampu untuk melakukan penyergapan di samudera Atlantik.



Mereka kebanyakan berlayar dari pangkalan-pangkalan di Baltik dan Laut Utara, dengan kru-kru yang bersemangat tinggi tapi hanya mempunyai sedikit pengalaman. Dalam 18 bulan pertama aktivitas U-boat dalam mengganggu jalur suplai Inggris hanyalah kecil saja, bahkan ketika Jerman menginvasi Norwegia di bulan April 1940, tak ada satupun U-boat yang wara-wiri di Atlantik! Musim panas 1940 Prancis jatuh ke tangan Jerman dan pasukan U-boat dapat menggunakan pangkalan baru di Bay of Biscay.





Kapal-kapal perusak Inggris sangat mengandalkan ASDIC dalam menanggulangi serangan U-boat. ASDIC ini dapat berguna dalam mengetahui jarak dan keberadaan U-boat dengan mendeteksi suara yang muncul. Minimnya pengawalan dari konvoy-konvoy yang lalu lalang dapat berarti bahwa para U-boat dapat menyerang musuh mereka secara bebas. Hal ini terjadi karena Inggris terlalu mengandalkan pada ASDIC, yang terbukti hanya dapat bekerja pada kondisi ideal, sesuatu yang justru kebalikannya di samudera Atlantik! Ini seringkali membuat para pengawal yang sedikit itu dapat dengan santainya berlayar menjelajahi lautan sementara U-boat Jerman berada di bawah mereka tanpa terdeteksi. Saat itu belum ada taktik resmi Royal Navy berkaitan dengan cara konvoy yang baik dan benar atau bagaimana cara menanggulangi serangan terhadap konvoy. Yang terjadi adalah, bila kemudian kapal-kapal itu mendapat serangan, maka mereka akan berpencaran ke berbagai arah dengan kecepatan penuh tanpa tujuan, sehingga Yang repot adalah kapal pengawal yang harus mengumpulkan mereka kembali sesudahnya! Para kapten kapal dagang itu bukanlah orang-orang militer yang mempunyai disiplin tinggi, dan kadang-kadang mereka tidak mematuhi instruksi yang dirasa “konyol” seperti harus memadamkan lampu ketika berada di malam hari. Sebuah kapal barang Yunani dari Konvoy SC7 diketahui “bersinar terang gemerlap” di buritannya tak lama setelah serangan U-boat. Untungnya, yang memergokinya adalah kapal pengawal (dan bukan U-boat) yang bertugas mengumpulkan kembali konvoy bagaikan induk bebek mengumpulkan anak-anaknya yang berpencaran!




Tujuan resmi dari Nasional-Sosialisme “untuk melayani masyarakat dan melakukan apapun yang kamu bisa untuk memperbaiki kehidupan mereka” juga direfleksikan dalam tatacara yang terjadi di dalam kapal selam. Sang komandan mempunyai tanggung jawab penuh akan apapun yang terjadi di kapal yang dipimpinnya, dan biasanya dia mempunyai hubungan yang sangat erat dengan 50 orang anak buahnya. Setiap orang mengenal dengan baik masing-masing temannya, dan setiap orang tahu pula tugas apa yang harus dilakukannya.




Jenis kapal selam favorit Dönitz untuk tugas penyerangan adalah U-boat tipe 7, yang berbeda hanya sedikit saja dengan pendahulunya di Perang Dunia Pertama. U-boat ini ditenagai oleh 2 buah mesin diesel besar yang mampu mendorong kapal dengan kecepatan maksimal 17 knot. Cerobong udara untuk membuang asap mesin berasal dari pipa yang berada di menara pengawas untuk menjamin jarak maksimumnya dari lautan. Biasanya, U-boat menghabiskan 90% dari masa patrolinya dengan berada di permukaan. Ketika perintah menyelam itu datang, maka mesin akan dimatikan, digantikan dengan tenaga dari baterai kapal. Di dalam lautan, sebuah U-boat hanya mampu merayap dengan kecepatan 7 knot saja, dan ini pun hanya berlaku untuk 1 jam. Untuk kecepatan 2 knot, maka U-boat dapat bertahan nyungseb di laut maksimal 36 jam, setelahnya maka mau tidak mau kapal selam itu harus muncul kembali di permukaan demi mengisi ulang udara dan baterai. Di atas air, sebuah U-boat biasanya mempunyai kecepatan yang cukup untuk memberantakkan konvoy yang bergerak lambat, tapi di bawah air maka yang ada adalah hampir kemustahilan. Disini pula U-boat itu bagaikan orang buta yang mengandalkan melulu pada peralatan sonar. Masih kurang jelas? Biar Jürgen Oesten (komandan U-61 di musim panas 1940) yang baceo : “Semua U-boat yang kita punyai selama perang pada dasarnya adalah kapal permukaan yang mempunyai kemampuan untuk menyelam. Dari 20 kapal yang aku tenggelamkan, 19 di antaranya ditenggelamkan di permukaan. Di malam hari, bila jarak antara kapalmu dan target lebih dekat dari 3000 sampai 4000 meter, maka menara pengawas kami hampir-hampir tidak terlihat dari anjungan kapal dagang musuh (tidak tampak di atas horizon). Kau hanya menampakkan siluet kecil saja di mata targetmu!”




Di tahun 1935 para laksamana Inggris telah hafal luar dalam jumlah baut dan mur dalam sebuah U-boat Jerman, tapi hampir-hampir blank tentang taktiknya itu sendiri! Ini adalah suatu hal yang mengejutkan bila kita tahu bahwa pada tahun 1939 Dönitz telah menerbitkan sebuah buku,Die U-Bootswaffe, yang terang-terangan bercerita tentang metode dan taktik berperang U-boat yang diketahuinya berdasarkan pengalaman pada Perang Dunia I ditambah dengan hasil inovasinya sendiri. Salah satunya adalah betapa Dönitz sangat menyarankan serangan yang dilakukan pada malam hari, dan bagaimana dia telah melatih para awak U-boat secara seksama dalam hal ini.




Biasanya sebuah U-boat dengan panjang 220 kaki diisi oleh 43 orang awak kapal dengan usia yang segar-segarnya dan kondisi badan yang prima (rata-rata usia awak U-boat adalah 20-23 tahun, sementara komandannya berusia 28 tahun). Hampir semua kru hidup di kompartemen yang berada di haluan, yang sekaligus menjadi gudang senjata utama. Sebagai senjatanya, tersedia 4 buah tabung dengan cadangan 10 buah torpedo. 2 torpedo lain bisa pula dilepaskan dari buritan dan 2 lagi dibawa dalam kontainer bebas-tekanan di dek atas. Bisa dibilang bahwa kehidupan di dalam kapal selam semakin menyenangkan dengan dilepaskannya setiap torpedo yang memenuhi ruangan!








Para kru berbagi ruangan tidur dengan kru lain di seberangnya, dan setiap orang bergantian menempati ‘ranjang’ yang baru saja ditinggalkan temannya yang kena giliran jaga. Di sebelah setiap ranjang terdapat sebuah loker kecil tempat menyimpan barang-barang pribadi awak kapal. Disini mereka tidak membutuhkan baju bersih, pisau cukur atau sabun mandi, dan setelah beberapa hari meninggalkan pangkalan, penampilan para manusia ini berubah drastis, seperti tanda-tanda kehidupan tanpa sinar matahari. Muka putih seperti kuntilanak, janggut mulai tumbuh, dan lingkaran hitam nongol di sekitar mata. Tak lama pakaian sudah berbau mesin diesel dan bercampur air asin. Air tawar begitu berharga dan hanya digunakan untuk minum saja, dan meskipun selalu ada kesempatan mencuci baju menggunakan air laut, tapi hal ini hampir tidak pernah dilakukan. Memang ada 2 toilet yang tersedia di dalam kapal, tapi satu dipenuhi oleh persediaan makanan, dan satunya lagi digunakan secara bergantian oleh 40 orang lebih! Bau di dalam kapal tak usah dibayangkan lagi, dari bau mesin diesel, ditambah bau makanan yang ditingkahi bau keringat awak kapal yang tidak mandi berminggu-minggu. Campurkan ini semua dan anda mendapatkan bau khas yang hanya ada di dalam sebuah U-boat! Beberapa kru yang masih berpikiran waras biasanya memakai Cologne 4711 untuk mengurangi dan melindungi dari bau yang menyengat, tapi biasanya para awak U-boat lain sudah pasrah saja menerima keadaan ini.








Di bagian bawah kompartemen haluan adalah tempat para perwira. Setidaknya kehidupan tidak terlalu parah bagi 9 orang yang makan dan tidur disini. Kapten kapal mempunyai ruangan tersendiri yang dilengkapi dengan tempat untuk menulis di sebelah ruangan radio. Para perwira makan di sebuah meja kecil yang terletak di perlintasan, dan biasanya acara makan terganggu oleh lalu-lintas para awak dari dan ke kompartemen haluan. Di jantung kapal selam tersebut terdapat ruang kontrol, yang dipenuhi oleh berbagai macam peralatan, katup, tombol-tombol, dan pengukur tekanan. Disinilah terletak “markas besar” tempat mengarahkan setiap aksi yang kemudian terjadi. Disini terdapat pengukur tangki pemberat, dan pengukur penyelaman. Salah satu dari 2 buah periskop U-boat dioperasikan dari sini, sementara satunya lagi, yang lebih panjang dan digunakan untuk menyerang kapal musuh, ditempatkan di menara pemgawas di atasnya. Selanjutnya adalah kompartemen para perwira rendahan dan dapur mini. “Senjata” sang koki adalah 3 buah kompor, 2 buah oven kecil dan 40 buah panci untuk merebus. Kalau anda mengira bahwa makanan yang disediakan disini pastinya berkualitas ancur-ancuran, maka anda salah besar, karena biasanya makanan yang ada disajikan dengan profesional sehingga rasanya bisa dipertanggungjawabkan. Kenapa? Karena soal rasa ini berpengaruh kepada semangat para awak kapal. Bayangkan saja, sudah capek-capek bekerja di tempat yang sempit, bau neraka, penuh resiko, jauh dari keluarga, dan ketika makan pun disuguhi dengan babadotan! Tentu saja persediaan makanan yang ada di U-boat tidak akan bertahan lama, karena selalu ada tetesan air dari mana-mana, rembesan katup dan sisa kondensasi. Di mana-mana yang ada adalah kelembaban dan akibatnya, tak lama makanan sudah dilapisi oleh jamur-jamur berwarna hijau. Mungkin saja kalau awak U-boatnya orang Indonesia mereka tinggal bawa tempe atau tape singkong saja maka tidak akan jadi masalah, tapi ini orang bule, Bung! Dan biasanya setelah makanan yang segar-segar habis atau dibuang karena jamuran, maka para awak kapal harus menerima hari-harinya disi dengan memakan makanan kalengan.








Di sebelah dapur adalah ruangan mesin yang dapat dikenali dari suara mesin dieselnya yang berbunyi tanpa henti. Yang terakhir adalah kompartemen elektrik dengan motor berkekuatan 375 tenaga kuda. Di sebagian besar waktu patroli, 4 orang petugas bergantian menerawang kejauhan di menara pengawas. Tapi kondisi tak selamanya bersahabat, seperti yang dijelaskan oleh Horst Elfe, perwira kedua di U-99 : “Kami harus bertahan menghadapi badai Atlantik yang setiap saat melanda. Tak ada yang lebih buruk dari ini, karena kapal hampir mustahil dikendalikan di kedalaman periskop dengan cuaca seperti tersebut, kecuali bila berada di atas air. Serangan permukaan tak pernah terpikirkan oleh kami karena tak seorangpun bisa melihat, bergerak, membidik atau yang lainnya. Yang kami pikirkan saat itu hanyalah keselamatan diri kami sendiri.”








Admiral Sir Andrew Cunningham menginsyafi bahwa meskipun hanya butuh waktu 3 tahun untuk membangun sebuah kapal, tapi butuh waktu 300 tahun untuk membangun sebuah tradisi. Kehilangan pertama Inggris di lautan, terutama Kapal Perang Royal Oak di pangkalannya sendiri, memberi pukulan yang menggoncangkan bagi publik, meskipun kepercayaan bahwa pada akhirnya Inggris tetap menang masih menjadi suatu kepercayaan yang umum. Pada mulanya kepanikan Royal Navy begitu terasa ketika mereka menghantam setiap apapun yang terlihat bergerak di lautan. Laporan-laporan tentang kemunculan U-boat bermunculan dimana-mana. Seorang pengintai di Mercusuar Isle of Man bahkan mengklaim telah melihat sebuah periskop dari jarak 6 mil! Ini jelas-jelas suatu kebullshitan, karena jangankan di hari yang berkabut, di hari terang pun adalah suatu keberuntungan bila seorang observer mampu melihat periskop nongol dari jarak 1000 yard! Dan laporan seperti ini begitu ditanggapi dengan seriusnya oleh Royal Navy sehingga mereka buru-buru mengirimkan kapal perang terpilih HMS Walker dari Liverpool demi melayani U-boat yang ternyata tidak pernah menampakkan batang hidung eh periskopnya! Bahkan kalaupun U-boat itu benar-benar ada, maka dengan kecepatan HMS Walker yang mencapai 25 knot, paling cepat kapal tersebut bisa tiba di lokasi adalah dalam waktu 2 jam, dan dalam waktu segitu sudah tentu sang U-boat buruan dapat berada di mana saja dalam radius 10 mil, radius yang sungguh di luar jangkauan bila membayangkan bahwa HMS Walker hanya sendirian saja dan dipersenjatai oleh ASDIC yang hanya dapat efektif dalam jarak 2000 yard!








Ada masalah lain : konvoy mendapat pengawalan tidak sampai ke tujuannya, melainkan dari Inggris sampai ke 300 mil sebelah barat Irlandia saja. Hal ini wajar belaka, karena kalau semua konvoy mendapat pengawalan sampai ke tujuannya, maka tidak akan ada lagi kapal perang yang tersisa untuk keperluan lainnya! Bagi Jerman tentu saja ini adalah suatu rezeki nongtot, karena seluruh samudera Atlantik berada dalam jangkauan U-boat-U-boat yang kelaparan. Dari bulan Juli sampai dengan Oktober 1940, tercatat 144 buah kapal dagang yang tak mendapat pengawalan ditenggelamkan, sementara 73 kapal dagang yang mendapat pengawalan pun tidak luput berhasil ditenggelamkan pula oleh Grup kapal selam Jerman. Para komandan U-boat telah menemukan kelemahan dalam sistem ASDIC, kelemahan yang fatal : benda ini tidak dapat mendeteksi kapal selam yang berada di permukaan! Di lain pihak, Dönitz mengembangkan sistem penyerangan Wolf Pack, dimana beberapa U-boat beroperasi bersama-sama dalam menyerang suatu konvoy. Di malam tanggal 21 September 1940, konvoy berkecepatan tinggi HX72 yang terdiri dari 41 kapal dagang, diserang oleh Wolf Pack dan akibatnya 11 kapal menjadi korban. Di kemudian waktu komodor konvoy tersebut begitu yakin bahwa setidaknya 2 U-boat terlibat dalam penyerangan ini, dan pendapatnya diamini oleh perwira kapal pengawal. Mulai timbul kecurigaan di kalangan laksamana Inggris bahwa para U-boat sialan itu telah mulai mengkoordinasikan serangan mereka. Hal ini adalah sesuatu yang tidak pernah diantisipasi sebelumnya, dan bahkan tidak dipercayai oleh suara-suara berpengaruh di intelijen Angkatan Laut (sudah tentu orang-orang ini adalah orang-orang “ortodok keras kepala” yang sama yang berpendapat bahwa dalam pertempuran laut tidak dibutuhkan bantuan kapal terbang!). Bila peristiwa ini tidak berhasil meyakinkan para petinggi Royal Navy bahwa itulah sebenarnya yang terjadi, maka peristiwa berikut ini seakan menjadi pembenaran yang tak terbantahkan : konvoy berkecepatan ringan SC7 berangkat dari pelabuhan Sydney di Kanada di minggu pertama Oktober 1940, dan terdiri dari berbagai macam kapal, dari yang bertonase berat sampai kapal ukuran kecil. Konvoy ini tidak pernah berkecepatan lebih dari 8 knot, dan bahkan dengan kecepatan itu pun, sebagian besar dari 35 kapalnya sampai ngos-ngosan berusaha keras! Yang paling tua adalah tanker Norwegia ‘Thoroy’ yang sudah 47 tahun berkelana di lautan. Kebanyakan kapalnya telah menghabiskan 2 minggu sebelumnya di berbagai pelabuhan demi menurunkan muatan, dan yang lainnya telah mengarungi jalur laut St Lawrence demi sampai kesini. SS Fiscus dipenuhi oleh 5 ton muatan batang baja, sehingga pantaslah kalau kapal ini dinamakan sebagai batako mengapung! Frank Holding, seorang Liverpudlian, telah jujur mengaku bahwa dengan membawa kapal-kapal semacam SS Fiscus dan Thoroy, maka “anda tak akan punya kesempatan untuk selamat”. Sekali kapal semacam itu tersentuh torpedo, maka sudah pasti dia akan langsung tenggelam ke lautan bagaikan batu. Dia mengaku bahwa dia termasuk orang yang beruntung karena berada di SS Beatus, “kapal uap tua lambat yang kotor, yang punya bau campuran oli dan gula, yang punya koki orang Cina sementara ruangan mesinnya dipenuhi oleh orang India, jadi hanya aku dan seorang lagi yang asli dari Liverpool!” sebagai asisten pelayan, kehidupan di kapal dirasanya sedikit lebih baik dari yang lainnya. “Kami punya hak-hak khusus di ruangan mesin dan dek yang selalu ramai, sementara mereka berdesak-desakan di bagian muka kapal, mungkin 8 sampai 10 ranjang dalam satu ruangan. Aku sendiri berada satu ruangan dengan hanya 1 orang lagi : koki Cina itu!”








“Kami selalu dikasih tahu bahwa, bila kapal kami ditenggelamkan oleh U-boat, maka mereka akan membiarkan kami dan hanya membawa kapten dan insinyur saja sebagai tawanan. Kami sangat takut bila mereka menembaki kami dengan senapan mesin. Dua orang teman, Eddie dan Billy Howard, pernah melihat kejadian seperti ini di Three Rivers, dan sekarang mereka berada di Creekirk, yang dipenuhi oleh bijih besi. Tanggal 5 Oktober SC7 bersiap-siap dan mulai berangkat ke arah lautan. Dalam brifing sebelum berlayar, beberapa perwira dari Royal Navy ngomel-ngomel tentang “kapten-kapten kapal keras kepala” yang berpendapat bahwa mereka lebih baik pergi tanpa mendapat pengawalan. Di 11 hari pertama, hanya satu sekoci pengawal saja yang mengiringi kami. Kami bisa berharap mendapat pengawalan penuh bila sudah mendekati tujuan kami. Beberapa kapal telah diperlengkapi dengan senjata 4 inci di buritannya, meskipun para pelautnya sendiri menganggap bahwa senjata-senjata tersebut lebih sebagai pajangan saja. Tak lama setelah tengah hari, kapal pertama mengangkat jangkar dan mulai berangkat, dan dibutuhkan seluruh sisa hari itu hanya untuk mengumpulkan semua kapal dalam posisinya. Sembilan lajur dengan tiga atau empat kapal di setiap lajurnya. Bagi para awak kapal dagang yang biasa berlayar dengan bebas di kaki langit yang kosong, hanya untuk tetap di lajur saja sudah merupakan suatu hal yang sulitnya minta ampun. Empat hari di lautan dan SC7 sudah menghadapi cuaca buruk, yang memaksa beberapa kapal keluar dari barisannya. Salah satu dari kapal terbesar, Empire Miniver berbobot 6000 ton, terkena masalah pada turbin. Kapten Robert Smith melapor kepada pangkalannya bahwa ‘ketika kami sedang mengamati kegelapan yang tampak di depan mata, tiba-tiba saja kami melihat sinar terang di haluan kapal. Dengan terkejut kami mendapati bahwa itu adalah sebuah kapal uap Yunani, yang bisa kami lihat dengan jelas bahkan dari jarak 6 mil jauhnya!” begitu ‘seksamanya’ pedoman berlayar di kala perang bagi konvoy ini!”








Di jam-jam awal tanggal 16 Oktober, salah satu kapal yang keluar barisan membunyikan peringatan secara berulang-ulang, serangan U-boat! Satu-satunya pengawal konvoy, HMS Scarborough, tak dapat berbuat apa-apa. Kargo dan krunya hilang ditelan lautan. Semangat muncul ketika di kaki langit datang dua buah kapal pengawal (HMS Fowey dan HMS Bluebell) yang datang dari Liverpool, tapi tetap tak ada rencana untuk mengkoordinasikan aksi dalam menghadapi serangan ini. Di akhir malam itu, pengawas di U-48 menangkap siluet kapal di cahaya bulan. Ketika U-boat itu mendekat, dengan jelas tampak bahwa itu adalah sebuah konvoy, berukuran besar dan lemah! Tak lama Lorient telah menerima transmisi radio yang memberitahukan lokasi dan kecepatannya. Sebuah grup yang terdiri dari 5 U-boat diperintahkan untuk menemukan, mendekat, dan menyerang. U-48 maju pertama kali, tanpa perlu capek-capek menunggu yang lain datang, dan tak lama menemukan mangsanya yang terbesar, tanker Languedoc berukuran 9500 ton. Torpedo pertama menghantam bagian sampingnya dan BELEDUG! 2 menit kemudian ledakan kedua datang dari kapal barang Scoresby, BELEDUG!








Karena tak berpengalaman, kapal pengawal ini malahan memutuskan untuk mengambil orang-orang yang selamat dari kapal yang tenggelam dan bukannya memburu si pembuat masalah. Akibatnya, konvoy itu tak terjaga lagi. Di sore selanjutnya U-boat lain merusakkan satu kapal. Ketika malam turun tanggal 18 Oktober, 3 buah pengawal “menggembalakan” 31 anggota konvoy yang masih tersisa. Kalau mereka kira bahwa kini bahaya telah berakhir, maka mereka salah besar! Tepat di kaki langit menunggu dengan tenang 6 buah U-boat yang bersejajaran dengan jalur konvoy tersebut. Salah satu dari kapal selam ini adalah U-100 yang dikomandani oleh Joachim Schepke dan U-99 dengan komandannya Otto Kretschmer. Dua-duanya kemudian akan dicatat dengan tinta emas sejarah sebagai dua orang jagoan kapal selam yang paling disegani dalam Perang Dunia II.








Tak lama sebelum tengah malam mereka menyerang! Dimana-mana kapal-kapal meledak, terbakar dan tenggelam. Benar-benar suatu kekacauan yang luar biasa. Para pengawal itu tak dapat melakukan apa-apa selain menolong orang-orang yang selamat. ASDIC yang mereka bawa tidaklah berguna sama sekali, sementara teknologi radar masih ala kadarnya. Hasilnya adalah, dari 35 kapal yang berangkat dari pelabuhan keberangkatan, hanya 12 buah yang sampai dengan selamat! Dan ini pun bukan karena gerombolan U-boat itu kehabisan torpedo, melainkan karena Otto Kretschmer yang menerima berita bahwa ada konvoy lain (HX79) yang ikut terdeteksi dan berada dalam jangkauan mereka. U-boat-U-boat itu memutuskan untuk “berpesta” di konvoy yang kedua, dan menenggelamkan 12 kapal plus merusakkan 2 dari 49 kapal anggota konvoy HX79!








Salah satu dari jagoan U-boat yang paling terkenal adalah Erich Topp, komandan kapal U-552 yang dikenal sebagai “Setan Merah”. di tahun 1936 dia telah bertugas di penjelajah Karlsruhe. Hubungan pribadi yang kemudian terjalin dengan Admiral Dönitz membuat dia memutuskan untuk mendaftar secara sukarela di unit U-boat. Di tahun 1937 dia melaporkan diri pada Sekolah Pelatihan Neustadt. Perkenalan pertamanya dengan U-boat berujung dengan kekecewaan, ketika dia mendapati “bau” U-boat yang khas dan kelembaban konstan yang terdapat di dalamnya. Pada akhirnya dia mampu untuk membiasakan diri dan malah menganggap U-boat sebagai rumah utamanya.








Kebanyakan dari kapal penjaga konvoy di awal-awal perang adalah perusak tua sisa-sisa Perang Dunia I, kapal sekoci kecil dan korvet, yang tidak mumpuni bila diharuskan menjalani tugas baru sebagai pemburu kapal selam. U-boat Kretschmer, U-99, dengan menggunakan strategi penyerangan malam (yang sudah jelas-jelas disebutkan dalam bukunya Karl Dönitz Die U-Bootswaffe, tapi yang kopinya tak satupun dipunyai oleh intelijen Inggris!) berhasil menenggelamkan 9 dari 17 kapal yang berasal dari konvoy SC7. tentu saja ASDIC tak dapat mendeteksi kapal selam yang berada DI ATAS permukaan. Bisa dikatakan bahwa kerugian luar biasa besar yang diderita oleh pelayaran Sekutu selama tahun-tahun pertama perang benar-benar di luar perkiraan bila melihat jumlah U-boat yang operasional, tak lebih dari 12 buah yang ada di lautan dalam saat yang sama, itu pun sangat jarang terjadi! Setelah perang Inggris baru tahu bahwa sebenarnyalah Jerman telah mengetahui kode yang biasa digunakan oleh radio konvoy. Biasanya, U-boat “dituntun” ke arah buruannya oleh pesawat Condor dari Luftwaffe. Condor itu sendiri, yang merupakan bomber pengintai jarak jauh, bertugas untuk melaporkan pergerakan kapal yang terdeteksi sedang berada di laut, dan bahkan ikut menenggelamkan beberapa di antaranya!








U-boat ini bukannya tidak punya masalah sendiri, dan salah satunya adalah torpedo yang bermutu pas-pasan. Sebagai contohnya adalah U-23 yang dikomandani Oleh Kretschmer (sebelum dia dilempar ke U-99) yang pada tahun 1939 butuh 3 buah torpedo hanya untuk menenggelamkan sebuah kapal barang kecil di Laut Utara. Dengan tersisa 1 buah torpedo, Kretschmer memutuskan untuk “nganjang” ke Perairan Orkney di dekat Kirkwall. Di pelabuhan bersandar sebuah tanker berbobot 10.500 ton dari negara netral bernama Danmark (bodo banget kalo nggak tahu asal tanker ini!). para awak U-boat itu dapat dengan jelas melihat beberapa orang di dek sedang bersantai melepus-lepuskan rokok, di sebuah kapal yang secara ceroboh tidak memasang pertahanan di sekeliling dirinya. Srrrrrrr... BELEDUG! Ketika torpedo itu menemukan sasarannya, semua mata yang berada di pelabuhan malahan mendongak ke langit, menyangka bahwa yang ada adalah serangan dari Luftwaffe! Tak ada satupun yang mengira bahwa akan ada kapal selam sialan yang mencoba menerobos masuk. Dengan santai U-23 berlayar ke kanan dan melewati pos penjagaan, menyelinap kembali ke lautan bebas sementara semua senjata di arahkan ke udara! Tenggelamnya Danmark ini menandai babak baru peperangan. Dia telah mengibarkan bendera negara netral. Pada bulan Januari 1940 itu, Prize Regulations governing Conduct of Nations at War at Sea telah dilanggar secara sengaja. Untuk sedikit menyamarkan pelanggaran yang dilakukan oleh Kretschmer, Dönitz memerintahkan U-boatnya untuk memilih sasaran mereka secara hati-hati dan seksama, dan berharap Sekutu akan menyangka bahwa kapalnya tenggelam disebabkan oleh ranjau laut dan bukannya U-boat. Angkatan Laut Inggris sendiri memang sebelumnya telah memeriksa wilayah sekitar dan menemukan beberapa buah ranjau, sehingga dengan leganya Dönitz mendapati bahwa dua dari kapal yang ditenggelamkan oleh Kretschmer diklaim Inggris sebagai “tenggelam karena ranjau”. Tapi hanya sebentar saja, karena ketika sebuah pesawat pengintai mendapati U-boat Kretschmer, barulah Royal Navy menghadapi kenyataan sebenarnya yang menyesakkan.








Di bulan Desember 1940 kehilangan kapal yang diderita Inggris begitu parahnya sehingga kini Inggris terancam untuk menyerah kalah melalui kelaparan dan kekurangan barang yang mengancamnya! Yang diperlukan adalah lebih banyak kapal pengawal untuk mengiringi konvoy yang lebih rapat sehingga mudah dikontrol, dan jangan lupa mesin pendeteksi yang lebih baik dibandingkan ASDIC, yang tak bisa membedakan suara kapal selam dengan suara ikan paus! Sebagai balasan pangkalannya yang diserahkan ke Amerika, Presiden Franklin Delano Roosevelt memutuskan untuk menghibahkan 50 buah perusak tambahan sisa Perang Dunia I. Ya, mereka memang sudah bangkotan, tapi setidaknya mereka mengisi kekurangan dalam hal kapal pengawal yang diderita Inggris. Belum cukup, kapal perusak cepat juga ditambahkan untuk tugas ini ketika dirasa mereka sudah tidak dibutuhkan lagi di tugas sebelumnya, menantang kapal-kapal perang Jerman! Belum cukup, produksi kapal baru digenjot habis-habisan. Yang lebih penting lagi adalah, para ilmuwan Inggris menemukan sebuah “magnetron gema berongga” berukuran kecil, yang kemudian terbukti merupakan bagian penting dari sistem radar untuk menangkap U-boat di permukaan. Apa yang diketahui oleh para awak U-boat sebagai “Happy Time” kini akan segera berakhir, meskipun buat sementara bisa dibilang tahun 1941 perang di lautan Atlantik sedang berkecamuk seru-serunya, dengan masing-masing mengerahkan segala upaya demi menghancurkan musuhnya.









Setelah Amerika masuk ke dalam kancah peperangan, U-boat Jerman mengalami masa “Happy Time” yang kedua, Die Glückliche Zeit. Amerika masih hijau dalam hal perang U-boat ini, dan bahkan tidak repot-repot menerapkan blackout terhadap kota-kota di sepanjang pantainya. Akibatnya, pantai Florida di waktu malam tetap semarak oleh lampu-lampu yang memenuhi angkasa. Setiap kapal yang lewat menampakkan siluet yang jelas karena cahaya yang timbul dari pantai. Tentu saja ini merupakan sasaran empuk bagi 21 kapal selam yang dikirimkan oleh Dönitz ke area tersebut. Di bulan Juni 1942 mereka telah menenggelamkan tidak kurang dari 505 buah kapal, dan kebanyakan di antaranya masih berada di sekitar perairan Florida! Di luar dari kekurangan dalam hal teknologi, kapal pengawal dan pelatihan, Amerika juga kekurangan pesawat pengintai untuk melindungi konvoynya dan mengawasi lautan. Mereka bukannya tidak ada, hanya saja kebanyakan pesawat Liberator yang ada dikirim ke front Pasifik, sementara Inggris tidak membantu sedikitpun dan menginginkan pesawat Lancaster mereka untuk tugas pengeboman belaka. Seperti biasanya, selalu Jerman lah yang jadi pelopor dalam hal supremasi udara di lautan sementara musuh-musuhnya hanya bertugas mengkopi mentah-mentah. Di akhir 1940 Jerman telah mendirikan skuadron Condor Focke-Wulf di sepanjang pantai Biscay yang dapat beroperasi sampai sejauh 800 mil ke lautan Atlantik. Di dua bulan pertama tahun 1941 saja mereka telah menenggelamkan 46 kapal dengan total tonase 167.822 ton, suatu perbedaan yang tidak terlalu jauh dengan unit yang memang ditugaskan khusus untuk melakukan hal ini, U-boat, yang “hanya” mampu menenggelamkan 60 buah kapal di periode yang sama. Meskipun telah diperingati berkali-kali oleh Inggris berdasarkan bocoran dari mesin Enigmanya, tapi Admiral Ernest J. King yang merupakan Panglima Angkatan Laut Amerika Serikat tetap tidak terpengaruh untuk merubah caranya dalam menjalani perang melawan kapal selam yang sudah terbukti kadaluarsa. Laksamana satu ini memang sudah kesohor dari dulunya sebagai pembenci Inggris sejati (Anglophobic)!








Tahun 1941, jumlah kapal yang ditenggelamkan oleh U-boat sebanyak 432 = 2.171.754 ton, sementara yang ditenggelamkan oleh pesawat sebanyak 371 = 1.017.422 ton. Bila ditambahkan dengan sebab lainnya, maka dalam tahun ini Sekutu telah kehilangan 1.299 kapalnya, suatu jumlah mengerikan yang tak mampu ditanggulangi oleh produksi kapal Inggris dan sekutunya pada masa itu. Tahun 1942 lebih buruk lagi, karena 1.644 kapal nyungseb ke dasar lautan, sementara kekuatan U-boat melonjak drastis dari 91 kapal selam operasional di bulan Januari, menjadi 212 di bulan Desember!








Meskipun begitu, situasi secara perlahan namun pasti menjadi berubah lebih kepada keuntungan Sekutu. di akhir tahun 1942 Inggris telah mempunyai kapal pengawal konvoy yang dapat membawa pesawat, sementara Liberatornya mulai dapat dibagikan untuk tugas pemburuan kapal selam. Pesawat terbang amfibi Sunderland yang berpangkalan di Eslandia dapat pula difungsikan untuk tugas ini meskipun ruang lingkup operasinya hanya terbatas di rute utara. Satu lagi, penemuan Inggris yang bernama The Hedgehog (Landak), yang merupakan mortir berlaras banyak yang dapat melemparkan 24 buah bom-kedalaman dalam waktu bersamaan di depan kapal perusaknya. Ada lagi The Squid (Cumi-Cumi), yang melakukan hal yang sama tapi Cuma berkapasitas 3 bom-kedalaman. Hal ini semua mampu menanggulangi masalah gangguan U-boat yang selama ini menggerogoti jalur perdagangan Inggris dan Sekutu-Sekutunya. Masih belum cukup, sistem RADAR baru kini mampu mendeteksi kapal selam yang berada di permukaan. Kapal-kapal anti-kapal selam ini dapat pula membawa pesawat pantai kecil di deknya. Selain dari semua teknologi tersebut, Inggris juga menerapkan taktik baru, yaitu formasi grup Pemburu/Pembunuh kapal perusak. Kini komandan pengawal tidak usah susah-susah lagi bila dihadapkan pada pilihan apakah akan mengejar U-boat, menyelamatkan awak kapal yang selamat, atau tetap berada bersama konvoy, karena telah ada bagian-bagiannya yang dipersiapkan untuk menghadapi keadaan semacam ini.








Di bulan September 1942, grup pertama di bawah komandan Johnny Walker (sebagian nama awaknya : Jim Beam, Smirnoff, Vodka, dan Topi Miring! Hehehe...) telah dilepaskan ke lautan, dan bersiap untuk menuju ke konvoy mana saja yang berada dalam ancaman U-boat. Tugasnya sederhana saja, mereka akan memperkuat pertahanan konvoy, lalu mendesak U-boat yang berani nongol, mengejar mereka sampai benar-benar hancur. Kalau itu sudah selesai, mereka balik lagi ke pangkalannya dan menyerahkan sisa perlindungan kepada kapal pengawal biasa.








Tapi kerugian Sekutu masih cukup besar. Di bulan Januari 1943 203.000 ton hilang di dasar lautan, dan di bulan Februari naik menjadi 359.000 ton. Di bulan Maret 1943 konvoy HX229 meninggalkan Halifax. Tanggal 13 Maret mereka kepergok secara tidak sengaja oleh U-653. kapal selam itu buru-buru mengirim laporan balik dan Dönitz lalu mengirimkan 12 buah U-boat yang selanjutnya menimbulkan malapetaka tak tertanggungkan bagi 11 lajur konvoy tersebut. 8 buah kapal tenggelam dalam serangan pertama, 2 lagi malam harinya. Dalam waktu bersamaan grup lain juga dalam perjalanan di tempat yang sama, konvoy SC122, yang bahkan lebih besar dari HX229. parahnya, SC122 adalah konvoy berkecepatan rendah sementara HX229 cepat. Di malam tanggal 18/19 Maret, dua konvoy tersebut memutuskan untuk bergabung, dan begitu juga penyerangnya, tidak kurang dari 25 U-boat! Di pagi hari tanggal 19 Maret, 21 kapal anggota konvoy berhasil ditenggelamkan. Dan kehilangan ini dapat lebih besar lagi andai saja tidak masuk dalam jangkauan pesawat Inggris esok harinya (20 Maret). Kenyataannya, sebuah Liberator yang datang mampu menenggelamkan satu U-boat penyerang. Dalam satu pertempuran itu saja, Sekutu kehilangan 140.842 ton, sementara total kehilangan di bulan Maret adalah 627.000 ton, salah satu dari bulan terburuk dalam Perang Dunia II bagi Sekutu!








Selama bulan April, grup Pemburu/Pembunuh dilepaskan ke perairan Mediterania, dan Roosevelt memerintahkan lebih banyak lagi Liberator dikirimkan ke Atlantik. Di bulan Mei telah terdapat 41 buah Liberator yang operasional. Di pertengahan bulan itu sebuah konvoy besar diombang-ambingkan oleh badai di selatan Greenland. 12 U-boat mengambil keuntungan dari situasi ini, dan berpesta pora menenggelamkan 9 kapal. Tapi 2 Grup Pendukung kemudian tiba dari Nova Scotia, arus berbalik, dan U-boat-U-boat yang dalam perjalanan pulang diburu habis-habisan, beberapa di antaranya ditenggelamkan. 4 buah ngabelekbek di malam pertama oleh bom-kedalaman, 2 tenggelam keesokan harinya oleh pesawat pembom, dan 2 lagi bertabrakan di dalam laut untuk kemudian tenggelam pula. Konvoy berikutnya kehilangan 3 buah kapal, tapi Jerman juga kehilangan 3 buah U-boatnya. Konvoy berikutnya kehilangan 2 buah kapal sementara kehilangan Jerman lebih besar lagi, 2 U-boat tenggelam dan 2 lagi rusak. Konvoy selanjutnya tidak tersentuh, sementara U-boat yang tenggelam kini malah mencapai 6 buah! Di bulan April total tonase kapal Sekutu yang tenggelam adalah 245.000 ton sementara Jerman kehilangan pula 15 U-boat. Di bulan Mei 165.000 ton hilang sementara Jerman kehilangan 40 U-boat, dan di bulan Juni Sekutu hanya kehilangan 18.000 ton sementara Jerman 17 U-boat.








Alarm! Alarm! Dönitz menyimpan U-boatnya yang tersisa di pangkalan sambil menanti strategi baru untuk menanggulangi situasi yang tidak kondusif ini. Selama bulan Juni 1944 Dönitz mencoba untuk menggunakan U-boatnya dalam mencegah pendaratan Sekutu di Normandia, tapi mereka pun berhasil diusir oleh Grup di bawah komandan Johhnie Walker (masih familiar dengan namanya kan?). di fase inilah Pertempuran Atlantik (The Battle of Atlantic) secara efektif berakhir. U-boat tak lagi menjadi ancaman Sekutu, apalagi setelah pangkalan-pangkalannya di Prancis dikuasai kembali lawan. Hitler sendiri kini menganggap bahwa U-boat hanya berfungsi sebagai organisasi “defensif” saja, untuk membuat sibuk Sekutu sementara dia mati-matian berperang melawan Rusia di Timur. Dönitz adalah Dönitz, dia tetap mengirim orang-orang pilihannya ke lautan dalam misi-misi bunuh diri, menginsyafi dengan sepenuh kesadaran bahwa kemungkinan mereka untuk kembali pulang adalah nol. Para komandan U-boat berkali-kali memperingatkan Dönitz bahwa Sekutu secara diam-diam mendengarkan mereka, dan jawaban Dönitz adalah : “Itu suatu hil yang mustahal! Mesin kode kita tak mungkin bisa dipecahkan.” Pada kenyataannya, mesin itu telah berhasil dipecahkan dan mereka mendengar! Betapapun besarnya ancaman U-boat yang muncul kemudian, mereka hanya berhasil menenggelamkan 1% dari total kapal Sekutu yang berlayar di Samudera Atlantik! Sebenarnya pula B-Dienst (intelijen Jerman) pun telah berhasil membongkar kode Royal Navy, dan mereka selalu sebisa mungkin memberitahu Dönitz akan konvoy-konvoy yang melintasi lautan. Adalah suatu hal yang luar biasa bahwa Jerman tidak pernah mendengar bocoran informasi yang berasal dari Enigma di sinyal-sinyal yang dikirimkan Angkatan Laut Sekutu!












Sedikit catatan, Baby :





Pada tanggal 14 Oktober 1939 jam 01.16 kapal perang Inggris Royal Oak ditorpedo ketika sedang berada di pangkalannya yang “terlindung” di Scapa Flow. Dibutuhkan waktu 15 menit bagi kapal ini untuk sekarat dan kemudian nyungsep ke dasar sedalam 15 fathom (depa). 833 orang awak kapal ikut tenggelam bersamanya. U-boat yang bertanggungjawab atas hal ini adalah U-47 di bawah komandan Günther Prien.








Ini bukanlah korban pertama Prien. Tanggal 3 September 1939, di hari yang sama ketika Inggris dan Prancis mendeklarasikan perang terhadap Jerman, Günther Prien menenggelamkan Bosnia, kapal dagang Inggris. Dua hari kemudian dia menambah dua kapal lagi dalam daftar korbannya. Sekembalinya dari Scapa Flow, Prien dielu-elukan layaknya pahlawan, dan dia dianugerahi Ritterkreuz yang disematkan langsung oleh Adolf Hitler. keputusannya untuk menyerang Scapa Flow memang bukan suatu hal yang main-main, dan bahkan Winston Churchill sendiri mengakui bahwa hanya orang-orang bermental baja yang berani menerobos pangkalan Angkatan Laut Inggris yang paling banyak mendapat penjagaan tersebut!








U-31 menanamkan sejumlah ranjau laut di Loch Ewes, yang berakibat dengan rusaknya kapal perang HMS Nelson dan tenggelamnya dua buah kapal penyapu ranjau yang ditugaskan untuk membersihkannya!








U-21 menanamkan ranjau-ranjau di Firth of Forth, yang kemudian mematahkan bagian belakang HMS Belfast dan menenggelamkan dua buah kapal lainnya.








Di bulan Juni 1940, Prien diserahi tanggung jawab untuk memimpin sebuah “grup” U-boat yang terdiri dari U-47 dan enam kapal selam lainnya. Grup ini bertanggung jawab atas tenggelamnya 32 kapal dagang dengan total tonase 175.000 ton!








Prien menenggelamkan 4 dari 5 kapal yang hilang dari konvoy SC2 di bulan Agustus 1940.








Prien juga orang pertama yang memergoki konvoy HX79, yang lalu meminta bantuan 5 U-boat lainnya. 14 kapal tenggelam dalam pembantaian yang kemudian terjadi, dengan 3 diantaranya dibukukan oleh Prien sendiri.








Tanggal 6 Maret 1941 Prien memergoki konvoy OB293, dan seperti biasa meminta bantuan 4 kapal lain untuk ikut dalam penyerangan. Meskipun kemudian konvoy ini kehilangan 4 buah kapalnya, tapi mereka tetap bertahan dengan gigih. Akibatnya, pihak Jerman kehilangan 1 buah U-boatnya dan 1 lagi rusak parah. Dengan tetap memposisikan konvoy tersebut dalam penglihatannya, Prien bergerak untuk menentukan sasaran selanjutnya dengan menggunakan kecepatan permukaan tanpa memperhatikan sekelilingnya. Hal fatal kemudian terjadi. HMS Wolverine mengejutkannya dan kemudian menenggelamkan U-47 bersama seluruh awaknya termasuk Günther Prien. Terjadi perdebatan kemudian karena beberapa pihak berpendapat bahwa yang membuat U-47 tenggelam bukanlah kapal musuh melainkan karena torpedonya yang menjadi senjata makan tuan. Hal ini tidak pernah dapat dibuktikan, dan yang mendapat kredit sebagai penyebab tenggelamnya U-47 tetaplah Wolverine.








Dalam karirnya, Korvettenkapitän Hans-Günther Prien berhasil menenggelamkan 30 buah kapal dengan total tonase 193.808 ton. Selain itu, dia juga merusakkan 8 kapal lainnya dengan total tonase 62.751 ton. Atas prestasinya ini, dia dianugerahi Eichenlaub secara anumerta.








Jago U-boat terbesar Jerman dalam Perang Dunia II (bila dilihat dari skornya) tak diragukan lagi adalah Fregattenkapitän Otto Kretschmer, yang lebih dikenal sebagai “Serigala Atlantik”. Dia berhasil ditawan hidup-hidup dan dipenjarakan di Kanada. Orang-orang membicarakan dengan penuh kekaguman tentang U-99 yang membawa “Ladam Kuda Emas” di menara pengawasnya, juga tentang komandannya yang mendapat respek tinggi baik oleh kawan maupun lawan karena bertempur dengan penuh kehormatan dan kemanusiaan. Kretschmer biasa membawa kapal selamnya berdampingan dengan kapal yang baru ditenggelamkannya, lalu memberikan rokok, brandy dan peralatan medis pada para awak yang berada di perahu penyelamat sekaligus memberitahukan mereka rute pulang!








Hebatnya lagi, perang Kretschmer tidak berakhir setelah dia dipenjara. Dari kamp tawanannya di Kanada, dia mengorganisasikan sebuah grup spionase yang luar biasa efisien dan mengagumkan, yang biasa mensuplai Berlin dengan data-data militer rahasia Sekutu yang berlimpah dan, inilah yang membuat kita geleng-geleng kepala, akurat! Keterangan detailnya bisa kita temukan dalam buku karangan Terence Robertson berjudul “The Golden Horseshoe”. Sayangnya, sama seperti buku-buku masterpiece karangan Walker RN, buku ini pun sudah langka di pasaran dan tidak diproduksi kembali.








Setelah perang berakhir, Otto Kretschmer menjadi seorang diplomat. Rekaman wawancara bersamanya dan para komandan U-boat lain yang selamat dapat disaksikan dalam sebuah video dokumenter yang TOP BGT BLG (Top Banget Belegug) berjudul “Battle of the Atlantic” keluaran Luther Pendragon Priduction tahun 1995 (RGI 3037) dengan narasi dari Julia Somerville yang bisa dibeli dengan harga £13.99. juga termasuk dalam video ini adalah beberapa rekaman langka dari pembunuh U-boat yang top markotop, Kapten Johnnie Walker (ketemu lagi dah sama orang ini!) saat sedang beraksi.







Sumber :

www.en.wikipedia.org

www.uboataces.com

www.bbc.co.uk

www.britannica.com

Saturday, September 19, 2015

Sejarah Perang 6 Hari ( Arab-Israel ) Lengkap!!!



PERANG ARAB-ISRAEL (PERANG ENAM HARI)




Perang Enam Hari (bahasa Ibrani: מלחמת ששת הימים Milkhemet Sheshet HaYamim, bahasa Arab: حرب الأيام الستة ħarb al-'ayyam as-sittah), juga dikenali sebagai Perang Arab-Israel 1967, merupakan peperangan antara Israel menghadapi gabungan tiga negara Arab, yaitu Mesir, Yordania, dan Suriah, dan ketiganya juga mendapatkan bantuan aktif dari Irak, Kuwait, Arab Saudi, Sudan dan Aljazair. Perang tersebut berlangsung selama 132 jam 30 menit (kurang dari enam hari), hanya di front Suriah saja perang berlangsung enam hari penuh.

Pada bulan Mei tahun 1967, Mesir mengusir United Nations Emergency Force (UNEF) dari Semenanjung Sinai; ketika itu UNEF telah berpatroli disana sejak tahun 1957 (yang disebabkan oleh invasi atas Semenanjung Sinai oleh Israel tahun 1956). Mesir mempersiapkan 1.000 tank dan 100.000 pasukan di perbatasan dan memblokade Selat Tiran (pintu masuk menuju Teluk Aqaba) terhadap kapal Israel dan memanggil negara-negara Arab lainnya untuk bersatu melawan Israel. Pada tanggal 5 Juni 1967, Israel melancarkan serangan terhadap pangkalan angkatan udara Mesir karena takut akan terjadinya invasi oleh Mesir.[3] Yordania lalu menyerang Yerusalem Barat dan Netanya.[4][5][6] Pada akhir perang, Israel merebut Yerusalem Timur, Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat, dan Dataran Tinggi Golan. Hasil dari perang ini memengaruhi geopolitik kawasan Timur Tengah sampai hari ini.




Akibat Perang Arab-Israel tahun 1948 dan 1956




Nasser (Mesir), didukung oleh negara-negara Arab lainnya dengan tegas menendang Israel masuk ke laut. Gambar pra 1967. Surat kabar Al-Farida, Libanon.

Perang ini disebabkan oleh ketidakpuasan orang Arab atas kekalahannya dalam Perang Arab-Israel tahun 1948 dan 1956. Pada saat terjadinya Krisis Suez tahun 1956, walaupun Mesir kalah, namun mereka menang dalam hal politik. Tekanan diplomatik dari Amerika Serikat dan Uni Soviet memaksa Israel untuk mundur dari Semenanjung Sinai. Setelah perang tahun 1956, Mesir setuju atas keberadaan pasukan perdamaian PBB di Sinai, UNEF, untuk memastikan kawasan tersebut bebas tentara dan juga menghalangi gerilyawan yang akan menyebrang ke Israel, sehingga perdamaian antara Mesir dan Israel terwujud untuk sesaat.

Perang tahun 1956 menyebabkan kembalinya keseimbangan yang tidak pasti, karena tidak ada penyelesaian atau resolusi tetap mengenai masalah-masalah di wilayah itu. Pada masa itu, tidak ada negara-negara Arab yang mengakui kedaulatan Israel. Suriah yang bersekutu dengan blok Soviet mulai mengirim gerilyawan ke Israel pada awal tahun 1960-an sebagai bagian dari "perang pembebasan rakyat", dalam rangka untuk mencegah perlawanan domestik terhadap partai Ba'ath.[7] Selain itu, negara-negara Arab juga mendorong gerilyawan Palestina menyerang sasaran-sasaran Israel.

Pengangkut Air Nasional Israel

Pada tahun 1964, Israel telah mulai mengalihkan air dari Sungai Yordan untuk Pengangkut Air Nasional Israelnya. Pada tahun berikutnya, negara-negara Arab mulai membuat "Rencana Pengalihan Air". Apabila rencana tersebut selesai, maka akan mengalihkan air dari Sungai Banias agar tidak memasuki Israel dan Danau Galilea melainkan mengalir ke dalam suatu bendungan di Mukhaiba untuk Yordania dan Suriah, serta mengalihkan air dari Hasbani ke dalam Sungai Litani di Lebanon. Hal ini akan mengurangi kapasitas air yang masuk ke Pengangkut Air Nasional Israel sebanyak 35%, dan persediaan air Israel sekitar 11%.

Angkatan Bersenjata Israel menyerang pekerjaan pengalihan tersebut di Suriah pada bulan Maret, Mei, dan Agustus tahun 1965, sebuah rangkaian kekerasan yang berlanjut di sepanjang perbatasan, yang berhubungan langsung dengan peristiwa-peristiwa lainnya yang nantinya akan memulai perang. [8]

Israel dan Yordania: Peristiwa Samu

Pada tanggal 12 November 1966, seorang Polisi Perbatasan Israel menginjak ranjau yang menyebabkan terbunuhnya 3 tentara dan melukai 6 orang lainnya. Pihak Israel percaya bahwa ranjau tersebut telah ditanam oleh teroris Es Samu di Tepi Barat. Pada pagi tanggal 13 November 1966, Raja Hussein, yang sudah tiga tahun mengadakan pertemuan rahasia dengan Abba Eban dan Golda Meir untuk membahas keamanan perbatasan dan perdamaian, menerima pesan yang tidak diminta dari Israel yang menyatakan bahwa Israel tidak mempunyai niat untuk menyerang Yordania.[9] Walaupun begitu, pada pukul 5:30 pagi, Hussein menyatakan bahwa "dengan alasan 'balas dendam terhadap aktivitas teroris dari P.L.O.', Pasukan Israel menyerang Es Samu, sebuah desa Yordania yang mempunyai 4.000 penduduk, seluruhnya merupakan pengungsi dari Palestina, yang dituduh Israel menyembunyikan teroris dari Suriah".[10]

Dalam "Operasi Shredder", operasi tentara Israel terbesar sejak tahun 1956 sampai terjadinya Invasi Lebanon 2006, pasukan sekitar 3.000-4.000 tentara yang didukung tank dan pesawat tempur ini dibagi kedalam pasukan cadangan, yang tetap tinggal di bagian perbatasan Israel, dan dua pasukan penyerang, yang menyebrang ke Tepi Barat yang dikuasai Yordania.

Pasukan yang lebih besar, delapan tank Centurion diikuti dengan 400 pasukan lintas udara yang dimuatkan kedalam 40 truk dan 60 insinyur militer dalam 10 truk menuju kearah Samu, sementara sejumlah pasukan kecil yang terdiri daripada tiga tank dan 100 pasukan payung terjun dan insinyur militer yang menuju ke dua desa yang lebih kecil, Kirbet El-Markas dan Kirbet Jimba, dalam satu misi untuk mengebom rumah-rumah. Di Samu, tentara Israel menghancurkan satu-satunya klinik di desa, satu sekolah perempuan, pejabat pos, perpustakaan, satu kedai kopi dan sekitar 140 buah rumah. Laporan berbeda mengenai peristiwa ini telah dibuat yang merujuk kepada buku Terrence Prittie, Eshkol: The Man and the Nation dimana menyatakan 50 rumah telah diledakan tetapi penghuni-penghuni rumah tersebut telah dipindahkan beberapa jam sebelumnya. Batalion Infantri tentara Yordania ke-48, yang diarahkan oleh Mayor Asad Ghanma, bergerak menuju ke arah tentara Israel di barat laut Samu dan dua kompeni yang bergerak menuju timur laut telah diserang oleh Israel, ketika satu pleton Yordania yang bersenjatakan dua meriam 106 mm memasuki Samu. Dalam pertempuran, tiga orang sipil Yordania dan 15 tentara tewas, 54 tentara lain dan 96 orang sipil cedera. Letnan kolonel batalion pasukan lintas udara Israel, Kolonel Yoav Shaham, tewas dan sepuluh tentara lainnya cedera.[11][12] Merujuk kepada data pemerintah Israel, lima puluh tentara Jordan tewas namun jumlah sebenarnya telah dirahasiakan demi menjaga moral dan keyakinan pada rezim Raja Hussein.[13]

Dua hari kemudian dalam satu memo kepada Presiden Johnson, asisten khususnya Walt Rostow menulis "tindakan balas dendam bukan inti kasus ini. Serangan 3000 orang dengan tank dan pesawat-pesawat ini terlalu berlebihan terhadap provokasi yang terjadi, dan diarahkan kepada sasaran yang salah" dan kemudian menggambarkan kerusakan terhadap kepentingan Amerika Serikat dan Israel: "Mereka telah memusnahkan sistem kerjasama yang bagus di antara Hussein dan pihak Israel... Mereka telah menghianati Hussein. Kita telah mengeluarkan $500 juta untuk membinanya sebagai salah satu faktor kestabilan pada perbatasan terpanjang Israel dan terhadap Suriah dan Irak. Serangan Israel meningkatkan tekanan terhadap Hussein untuk menyerang balik, tidak hanya dari negara-negara Arab yang radikal dan orang Palestina di Yordania, tetapi juga dari angkatan darat, yang merupakan sumber dukungan utamanya, dan mungkin sekarang memaksa untuk mendapatkan kesempatan membalas kekalahan pada hari Minggu... Israel telah merusak kemajuan menuju adanya akomodasi dengan orang-orang Arab. Mereka mungkin memperlihatkan pada Suriah yang merupakan biang keladi, bahwa Israel tidak berani menyerang Suriah yang dilindungi oleh Uni Soviet, namun boleh menyerang Yordania yang didukung oleh Amerika Serikat tanpa ada hukuman."[14]

Dalam menghadapi kritik dari orang Yordania, Palestina dan tetangga Arab lainnya karena kegagalannya dalam mempertahankan Samu, Hussein memerintahkan untuk menjalankan mobilisasi nasional pada tanggal 20 November 1966.[15] Pada tanggal 25 November 1966, Dewan Keamanan PBB mengadopsi Resolusi 228 dan menyesali "kehilangan nyawa dan kerusakan besar menyebabkan terjadinya tindakan Israel pada tanggal 13 November 1966", mengancam "Israel karena jumlah pasukan berskala besar yang melanggar Piagam PBB dan Perjanjian Perdamaian antara Israel dan Yordania" dan menekan "kepada Israel bahwa tindakan balas dengan mengirim tentara tidak dapat ditolerir dan jika mereka mengulangi hal tersebut, Dewan Keamanan PBB akan mempertimbangkan langkah-langkah efektif seperti yang dibayangkan di dalam Piagam untuk memastikan pencegahan terhadap pengulangan tindakan yang sedemikian."[16]

Dalam satu telegram untuk Departemen Negara Bagian pada tanggal 18 Mei 1967, Duta besar Amerika Serikat di Amman, Findley Burns, telah melaporkan bahwa Hussein telah menjelaskan opininya dalam sebuah perbincangan sehari sebelumnya bahwa "Yordania adalah salah satu sasaran dalam jangka pendek dan dalam pandangan Hussein, ia pasti berlaku dalam jangka panjang.... Israel mempunyai kebutuhan militer dan ekonomi yang panjang serta tradisi agama dan aspirasi sejarah yang tertentu dimana pada pandangan Hussein mereka masih belum puas. Satu-satunya cara agar keinginan mereka tercapai adalah dengan mengubah status Tebing Barat, Yordania. Oleh sebab itu pandangan Hussein adalah hal yang bagi Israel merupakan kesempatan untuk mengambil kelebihan dari suatu peluang dan memaksa situasi apapun yang membuat mereka lebih dekat kepada keinginan mereka. Hussein mengkhawatirkan bahwa keadaan pada saat itu yang memberi kesempatan terhadap teroris, penyelundupan dan perpecahan di antara orang Arab yang sangat jelas," ”

dan mengenang peristiwa Samu "Hussein menyatakan bahwa jika Israel melancarkan serangan serangan berskala-Samu terhadap Yordania, ia tidak memiliki pilihan lain selain untuk membalas serangan mereka atau ia akan menghadapi pemberontakan di negaranya. Jika Yordania menyerang balas, tanya Hussein, apakah ini akan memberikan Israel suatu kesempatan untuk merebut wilayah Yordania dan mempertahankan wilayah Yordania yang direbut? Atau Israel mungkin akan menyerang dengan jenis serangan tembak-dan-lari hanya untuk menaklukan dan mempertahankan wilayah dalam perang sebelumnya. Hussein menyatakan bahwa ia tidak mungkin mengeluarkan kemungkinan-kemungkinan ini dari perkiraannya dan mendesak kami agar jangan berbuat demikian walaupun kita hanya ingin merasakannya."[17] ”

Israel dan Suriah

Selain mendukung serangan-serangan kepada Israel (yang sering memasuki wilayah Yordania, sehingga mengesalkan Raja Hussein), Suriah pun mulai menembaki komunitas rakyat Israel di timur Danau Galilea dari posisinya di Dataran Tinggi Golan, sebagai bagian dari perselisihan atas penguasaan Zona Demiliterisasi, yaitu tanah kecil yang diklaim oleh Israel dan Suriah. [18]

Pada tahun 1966, Mesir dan Suriah menandatangani persekutuan militer, yang mana mereka akan saling membantu bila salah satunya diserang pihak lain. Menurut Indar Jit Rikhye (penasihat militer PBB), Menteri Luar Negeri Mesir Mahmoud Riad mengatakan bahwa Mesir telah dibujuk oleh Uni Soviet untuk menjalin pakta pertahanan tersebut berdasarkan 2 alasan: untuk mengurangi peluang terjadinya serangan penghukuman terhadap Suriah oleh Israel, dan untuk membawa Suriah ke dalam pengaruh Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser yang lebih moderat. [19]

Laporan untuk Departemen Luar Negeri dari Kedutaan Besar Inggris di Damaskus, perihal konflik Israel dan Suriah tanggal 7 April 1967 mengenai pengelolaan kawasan perselisihan.

Selama kunjungan ke London pada bulan Februari tahun 1967, Menteri Luar Negeri Israel Abba Eban menjelaskan kepada hadirin tentang "harapan dan kegelisahan" Israel, bahwa walaupun Libanon, Yordania dan Republik Persatuan Arab (nama resmi Mesir sampai 1971) sepertinya berkeputusan untuk berkonfrontasi aktif melawan Israel, masih perlu dilihat apakah Suriah dapat mengekang diri sehingga permusuhan dapat dibatasi hanya sampai tingkatan retorik. [20]

Pada tanggal 7 April 1967, suatu peristiwa kecil di perbatasan telah menyebabkan satu pertempuran udara berskala besar di Dataran Tinggi Golan yang mengakibatkan Suriah kehilangan enam MiG-21, yang dikalahkan oleh Dassault Mirage III Angkatan Udara Israel, yang juga terbang melintasi Damaskus. [21] Tank, mortir, dan artileri digunakan oleh berbagai pihak sepanjang 47 mil (76 km) perbatasan, yang dijelaskan sebagai "suatu perselisihan terhadap hak pengerjaan tanah dalam Zona Demiliterisasi, di sebelah tenggara Danau Tiberias." Pada awal minggu, Suriah telah 2 kali menyerang traktor Israel yang bekerja di kawasan tersebut, dan ketika traktor itu kembali lagi di pagi hari tanggal 7 April 1967, Suriah pun melepaskan tembakan. Israel bereaksi dengan mengirim beberapa traktor lapis baja untuk terus membajak, mengakibatkan berlanjutnya aksi tembak-menembak. Pesawat Israel menjatuhkan bom-bom seberat 250 dan 500 kilogram ke lokasi-lokasi Suriah. Suriah membalas dengan menembak pemukiman-pemukiman Israel di perbatasan dan pesawat jet Israel membalas dengan mengebom desa Sqoufiye yang menghancurkan 40 rumah. Pada pukul 15:19, tembakan Suriah mulai jatuh di Kibbutz Gadot, sebanyak 300 tembakan telah jatuh dalam lingkungan kibbutz dalam waktu 40 menit. [22] UNTSO mencoba untuk menyusun gencatan senjata, namun Suriah menolak untuk bekerja sama jika pengerjaan tanah Israel tidak dihentikan. [23]

Perdana Menteri Israel, Levi Eshkol yang berbicara dalam suatu pertemuan partai politik sayap kiri Mapai di Yerusalem pada tanggal 11 Mei 1967, ia memberikan ancaman bahwa Israel tidak ragu-ragu untuk mengirim serangan udara dalam skala yang sebesar pada tanggal 7 April 1967 sebagai balasan terhadap terorisme di perbatasan yang berkelanjutan. Pada hari yang sama, Gideon Rafael, utusan Israel memberikan surat kepada Dewan Keamanan PBB dan memberikan ancaman bahwa Israel akan "bertindak untuk mempertahankan diri jika keadaan sekitar memungkinkan". [24] Ditulis dari Tel Aviv pada tanggal 12 Mei 1967, James Feron melaporkan bahwa sebagian dari pemimpin Israel memutuskan untuk mengirim pasukan "yang kuat tetapi dalam kurun waktu yang singkat dan pada kawasan yang terbatas" terhadap Syria. Laporan itu juga mengutip "seorang pengamat yang berwibawa" yang "berkata bahwa Republik Persatuan Arab, sekutu Suriah yang paling dekat di dunia Arab, tidak akan ikut campur kecuali jika serangan Israel meluas".[25]

Pada awal bulan Mei tahun 1967, kabinet Israel memberikan hak atas serangan terbatas terhadap Suriah, namun permintaan semula oleh Rabin untuk menyerang secara besar-besaran agar dapat menggulingkan rezim Ba'ath ditentang oleh Eshkol. [26]

Peristiwa di perbatasan terus bertambah dan banyak pemimpin Arab, termasuk para pemimpin politik dan militer, meminta untuk mengakhiri tindakan Israel. Mesir, yang pada saat itu mencoba merebut kedudukan yang utama di dalam dunia Arab di bawah Nasser, turut menyertai rencana-rencana untuk memiliterisasi Sinai. Suriah mengutarakan pandangan-pandangan itu, walaupun tidak siap untuk melakukan serangan tiba-tiba. Uni Soviet mendukung keperluan militer negara-negara Arab dengan aktif. Intelijen Soviet memberikan laporan yang diberikan oleh Presiden Uni Soviet Nikolai Podgorny kepada Wakil Presiden Mesir Anwar Sadat menyatakan bahwa tentara Israel sedang berkumpul di sepanjang perbatasan Suriah. Pada tanggal 13 Mei, laporan Soviet yang bohong itu didedahkan. Namun laporan palsu itu terungkap pada tanggal 13 Mei 1967.[27] [28]Pada bulan Mei tahun 1967, Hafez Assad, selanjutnya Menteri Pertahanan Suriah juga menyatakan: "Pasukan kami sekarang seluruhnya siap tidak hanya untuk menahan agresi, namun untuk mengusahakan aksi pembebasan, dan untuk menghancurkan kehadiran Zionis di tempat tinggal Arab. Pasukan Suriah, dengan jarinya mencetuskan persatuan... Saya, sebagai seseorang yang secara militer percaya bahwa waktunya telah tiba untuk memasuki pertempuran pembinasaan."[29]

Mundurnya Pasukan Keamanan PBB

Pada pukul 10.00 malam 16 Mei, Jendral Indar Jit Rikhye, letnan kolonel United Nations Emergency Force (UNEF), menerima surat dari Jendral Mohammed Fawzy yang berbunyi:

“Sebagai informasi untuk anda, saya telah mengarahkan semua tentara Republik Persatuan Arab agar mempersiapkan diri untuk melakukan tindakan terhadap Israel jika negara itu melakukan tindakan yang agresif terhadap salah satu negara Arab. Oleh karena instruksi ini, tentara kita kini bertumpu di perbatasan timur kita di Sinai. Oleh sebab itu, agar pasukan keamanan PBB yang ditempatkan di pos-pos pengawasan pada sepanjang perbatasan kita, saya meminta agar anda memerintahkan pengunduran semua tentara dengan segera."”Rikhye berkata bahwa ia akan melaporkan kepada sekretaris jendral untuk mendapat instruksi selanjutnya. [30]

U Thant, Sekretaris Jendral PBB, mencoba untuk berunding dengan Mesir, namun, pada tanggal 18 Mei 1967, Menteri Luar Negeri Mesir memberitahu negara-negara yang memiliki tentara UNEF bahwa misi UNEF di Mesir dan Jalur Gaza telah dibatalkan dan mereka harus pergi segera. Tentara Mesir juga menghalangi tentara UNEF yang hendak memasuki pos mereka. India dan Yugoslavia memutuskan untuk menarik semua tentara mereka dari UNEF, tanpa mengira keputusan U Thant. Ketika semua ini berlangsung, U Thant memberi usulan bahwa UNEF pindah ke perbatasan Israel, namun Israel menolak usulan ini. Wakil Mesir kemudian memberitahu U Thant bahwa Mesir telah memutuskan untuk menghilangkan kehadiran UNEF di Sinai dan Jalur Gaza, dan meminta agar diambil langkah untuk semua pasukan darurat mundur dengan segera. Pada tanggal 19 Mei 1967, letnan kolonel UNEF menerima perintah untuk mundur. [31][32] Gamal Abdel Nasser, Presiden Mesir, kemudian memulai demiliterisasi Sinai, dan mempersiapkan tank dan tentara di perbatasan antara Mesir dan Israel.




Selat Tiran

Peta lokasi selat Tiran.

Pada tanggal 22 Mei 1967, Mesir mengumumkan bahwa mulai dari tanggal 23 Mei 1967, Selat Tiran akan ditutup untuk "semua kapal yang mengibarkan bendera Israel atau membawa bahan-bahan strategik". [33] Nasser juga menyatakan, "Tidak akan membiarkan bendera Israel melalui Teluk Aqaba dengan alasan apapun." Kebanyakan perdagangan Israel menggunakan pelabuhan-pelabuhan di kawasan Laut Tengah, dan menurut John Quigley, walaupun kapal-kapal dengan bendera Israel tidak pernah menggunakan pelabuhan Eilat sejak dua tahun sebelum bulan Juni tahun 1967, minyak yang dibawa oleh kapal-kapal dengan bendera yang bukan bendera Israel merupakan impor yang sangat penting bagi Israel. [34] [35] Terdapat ketidakjelasan tentang tingkat keketatan blokade tersebut, khususnya mengenai apakah hal itu juga berlaku terhadap kapal-kapal yang bukan berbendera Israel.

Melihat hukum internasional, [36] Israel menganggap bahwa Mesir telah menyalahi undang-undang jika negara tersebut menutup Selat Tiran, dan menyatakan bahwa Israel akan menganggap blokade itu sebagai suatu casus belli pada tahun 1957 ketika Israel mundur dari Sinai dan Jalur Gaza. [37] Negara-negara Arab memperdebatkan hak Israel untuk melewati Selat Tiran kerana mereka tidak menandatangani Konvensi PBB tentang peraturan laut terutama kerana Pasal 16(4) memberikan hak tersebut kepada Israel. [38] Dalam perselisihan Majelis Umum PBB, banyak negara mengemukakan alasan bahwa jika hukum internasional memberikan hak untuk lewat kepada Israel, Israel tidak berhak menyerang Mesir untuk menuntut haknya karena penutupan itu bukan merupakan "serangan bersenjata" seperti yang tertulis dalam Pasal 51 dalam Piagam PBB. Selain itu menurut profesor hukum internasional John Quigley, berdasarkan doktrin proporsional, Israel berhak menggunakan kekuatan bersenjata hanya seperlunya saja demi mengamankan haknya untuk lewat. [39]

Israel memperhatikan penutupan selat itu dengan serius dan meminta Amerika Serikat dan Britania Raya untuk membuka Selat Tiran seperti yang telah mereka jaminkan pada tahun 1957. Proposal Harold Wilson agar adanya kekuatan laut internasional untuk memecahkan krisis ini disetujui oleh Presiden Johnson, akan tetapi ia tidak menerima banyak dukungan, dan hanya Britania Raya dan Belanda yang menawarkan bantuan berupa kapal-kapal.

Mesir dan Yordania

Ideologi Nasser yang berbentuk pan-Arabisme telah mendapat banyak dukungan di Yordania, sehingga pada tanggal 30 Mei 1967, Yordania menandatangani pakta pertahanan dengan Mesir, oleh sebab itu, ia bergabung dengan persekutuan militer antara Mesir dan Yordania. Presiden Nasser, dimana telah menyebut Raja Hussein sebagai seorang "pesuruh imperialis", pada awal hari menyatakan:

“Tujuan awal kita semua adalah kehancuran Israel. Orang-orang Arab ingin berperang. "[40]”Pada akhir bulan Mei tahun 1967, tentara Yordania telah dikomando oleh Jendral Mesir, Jendral Abdul Munim Riad. [41]. Pada hari yang sama, Nasser menyatakan:

“Tentara Mesir, Yordania, Suriah dan Lebanon sedang dalam keadaan tenang di perbatasan Israel... untuk menghadapi tantangan, dimana di belakang kami berdiri tentara Irak, Aljazair, Kuwait dan Sudan dan semua negara Arab. Aksi ini akan mengherankan dunia. Hari ini mereka akan mengetahui bahwa Arab telah siap untuk sebuah pertempuran, waktu yang menentukan telah tiba. Kita telah mencapai panggung aksi serius dan bukan deklarasi-deklarasi lainnya. Kami telah mencapai panggung aksi serius dan tidak lagi mengeluarkan deklarasi."[42] ”

Israel telah meminta Yordania beberapa kali agar tidak menyerang Israel. Namun, Hussein berada di ujung tanduk, dan berada di dalam dilema, ia harus memilih apakah Yordania harus ikut dalam peperangan dan menerima risiko dari balasan Israel, atau agar tetap netral dan mendapat risiko akan terjadinya revolusi di Yordania. Jendral Sharif Zaid Ben Shaker juga memperingati dalam konferensi pers bahwa "Jika Yordania tidak ikut dalam perang ini, perang saudara akan menghancurkan Yordania". [43]

Israel memiliki pandangannya sendiri berkaitan dengan peranan Yordania dalam perang yang berdasarkan kekuasaan Yordania atas Tepi Barat. Hal ini akan membuat tentara Arab yang hanya berjarak 17 kilometer dari pantai Israel yang merupakan suatu titik perubahan dimana serangan tank akan membelah Israel menjadi dua dalam waktu 2 jam. Walaupun jumlah tentara Yordania memiliki arti bahwa Yordania mungkin tidak akan melaksanakan latihan militer karena berhubungan dengan sejarah bahwa negara ini digunakan oleh negara Arab lainnya sebagai panggung untuk operasi melawan Israel, oleh sebab itu, serangan dari Tepi Barat akan menjadi ancaman bagi Israel. Pada waktu yang sama, negara Arab yang tidak berbatasan dengan Israel, seperti Irak, Sudan, Kuwait dan Aljazair mulai menggerakkan tentara mereka.

Aliran menuju peperangan

Dalam ucapannya kepada orang-orang Arab pada tanggal 26 Mei 1967, Nasser menyatakan:

“Jika Israel memulai agresi terhadap Suriah atau Mesir, pertempuran ini akan menjadi hal yang umum... dan tujuan dasar kita adalah untuk menghancurkan Israel."[44] ”

Menteri Luar Negeri Israel, Abba Eban menulis dalam biografinya bahwa ia telah diinformasikan oleh U Thant mengenai janji Nasser untuk tidak menyerang Israel, sehingga Abba Eban telah mendapat jaminan yang meyakinkan bahwa“...Nasser tidak ingin adanya peperangan, ia hanya menginginkan kemenangan tanpa peperangan.[45] [46] ”Ditulis dari Mesir pada tanggal 4 Juni 1967, jurnalis New York Times James Reston memiliki pandangan :

“Kairo tidak ingin adanya peperangan dan ia tidak siap untuk sebuah peperangan. Tetapi ia menerima kemungkinan, walaupun hanya kemungkinan, seolah-olah ia telah kehilangan kekuasaan atas situasi. [47]”

Sebuah tulisan ditulis pada tahun 2002 oleh jurnalis Mike Shuster yang mengekspresikan pandangannya bahwa hal itu adalah hal yang lazim di Israel sebelum perang tersebut karena Israel "dikepung oleh negara Arab. Mesir dipimpin oleh Gamal Abdel Nasser, nasionalis yang pasukannya merupakan pasukan terkuat di Timur Tengah. Suriah dipimpin oleh Partai Ba'ath yang radikal, yang membahas permasalahan untuk mendorong Israel ke laut."[48] Hal ini dilihat oleh Israel sebagai aksi provokasi oleh Nasser, termasuk penutupan selat Tiran dan mobilisasi pasukan di Sinai, yang membuat rantai teanan ekonomi dan militer, dan Amerika Serikat menunggu kesempatan baik karena permasalahannya dalam Perang Vietnam, tokoh militer dan politik Israel merasa bahwa dengan "melakukan tindakan militer sebelum diserang" bukan hanya lebih disukai, tetapi transformatif.

Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai

Penguasaan Sinai. 7 Juni-8 Juni 1967

Pasukan Mesir terdiri dari 7 divisi, yaitu 4 divisi lapis baja, 2 divisi infantri, dan 1 divisi infantri yang dimaknisasi. Mesir memiliki sekitar 100.000 pasukan dan 900-950 tank di Sinai, dipersenjatai dengan 1.100 Pengangkut personel lapis baja dan 1.000 artileri.[73] Penyusunan ini berdasarkan dari doktrin Uni Soviet, di mana mobil lapis baja menyediakan pertahanan dinamik ketika infantri ikut serta dalam pertempuran yang bersifat pertahanan.

Pasukan Israel mengkonstrasikan di perbatasan Mesir dengan mengikutsertakan 6 brigadir lapis baja, 1 brigadir infantri, 1 brigadir infantri yang dimaknisasi, 3 brigadir pasukan payung dan 700 tank yang berjumlah 70.000 orang, diatur dalam 3 divisi lapis baja. Rencana Israel adalah untuk mengejutkan pasukan Mesir (serangan tersebut tentu saja bertepatan dengan serangan Angkatan Udara Israel terhadap bandara Mesir), yang menyerang melalui rute utara dan tengah Sinai, dimana diluar dugaan Mesir karena Mesir mengguna Israel akan menggunakan rute yang sama dengan serangan tahun 1956, dimana Angkatan Bersenjata Israel menyerang melalui rute tangah dan selatan.

Wilayah yang direbut Israel

Tanggal 11 Juni, Israel menandatangani perjanjian gencatan senjata dan mendapatkan Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat (termasuk Yerusalem Timur), dan Dataran Tinggi Golan. Secara keseluruhan, wilayah Israel bertambah tiga kali lipat, termasuk sekitar satu juta orang Arab yang masuk ke dalam kontrol Israel di wilayah yang baru didapat (banyak dari penduduk wilayah-wilayah tersebut mengungsi ke luar Israel). Batas Israel bertambah paling sedikit 300 km ke selatan, 60 km ke timur, dan 20 km ke utara.

Korban jiwa

Korban yang jatuh dari pihak Israel, jauh dari perkiraan semula yang berjumlah lebih dari 10.000, termasuk sedikit: 338 prajurit meninggal di medan pertempuran Mesir, 550 meninggal dan 2.400 luka di medan pertempuran Yordania[78] dan 141 di medan pertempuran Suriah. Mesir kehilangan 80% peralatan militer mereka, 10.000 prajurit meninggal dan 1.500 panglima terbunuh[79], 5.000 prajurit and 500 panglima tertangkap[80], dan 20.000 korban luka.[81] Yordania mengalami korban 700 meninggal dan sekitar 2.500 terluka.[82] Suriah kehilangan 2.500 jiwa dan 5.000 terluka, separo kendaraan lapis baja dan hampir semua artileri yang ditempatkan di Dataran Tinggi Golan dihancurkan.[83] Data resmi dari korban Irak adalah 10 meninggal dan sekitar 30 terluka.[84]

Perubahan religius

Akhir dari perang juga membawa perubahan religius. Di bawah pemerintahan Yordania, orang-orang Yahudi dan Nasrani dilarang memasuki Kota Suci Yerusalem, yang termasuk Tembok Ratapan, situs paling suci orang Yahudi sejak kehancuran Bait Suci mereka. Orang Yahudi merasakan situs-situs Yahudi tidak dirawat, dan kuburan-kuburan mereka telah dinodai.[85][86] Setelah dikuasai Israel, pelarangan ini dibalik. Israel mempersulit para pemuda Islam yang ingin beribadah di Masjid Al-Aqsa dengan alasan keamanan, dan hanya orang tua dan anak-anak saja yang diperbolehkan, meskipun Masjid Al-Aqsa dipercayakan di bawah pengawasan wakaf Muslim dan orang-orang Yahudi dilarang untuk beribadah di sana. [87]

Insiden lain ialah adanya penggalian terowongan di bawah Masjid Al-Aqsa dengan tujuan mencari Haikal Sulaiman (Bait Suci Kedua), yang membuat pondasi masjid menjadi rapuh dan kemungkinan besar masjid dapat ambruk.[88][89] Situs Al-Aqsa Online menyebutkan (15/2/2008), telah terjadi longsoran yang menimbulkan lubang sedalam dua meter dengan diameter 1,5 meter.[90] Longsoran itu terjadi di dekat Pintu Gerbang Al-Selsela dan sumber air Qatibai, sisi barat masjid. Dalam pernyataannya, lembaga rekonstruksi tempat-tempat suci Islam Al-Aqsa Foundation menyatakan, longsoran itu disebabkan oleh penggalian yang dilakukan sekelompok warga Israel di bawah kompleks Masjid Al-Aqsa dan penggalian tersebut sudah mencapai Pintu Gerbang Selsela.[91] Hal serupa juga dilontarkan gerakan Islam di Israel pimpinan Syaikh Raed Salah, yang menyerukan agar negara-negara Muslim segera mengambil langkah untuk menghentikan penggalian tersebut yang dilakukan di kompleks Masjid Al-Aqsa.[92]

Selain kegiatan penggalian, pada Februari 2007, buldoser-buldoser Israel menghancurkan jembatan kayu menuju Pintu Gerbang Al-Maghariba dan menghancurkan dua ruang di bawah tanah, komplek Masjid Al-Aqsa.[93][94] Aksi Israel ini menuai protes dari rakyat Palestina dan negara-negara Muslim. Namun Israel seakan-akan tidak mendengarkan kecaman-kecaman itu.




Perubahan politik

Pengaruh Perang Enam Hari tahun 1967 dari segi politik amat besar. Israel telah menunjukkan bahwa Israel tidak hanya mampu, tetapi juga hendak memulai serangan-serangan strategik yang dapat mengubah keseimbangan wilayah. Mesir dan Suriah mempelajari berbagai kemungkinan taktikal, tetapi mungkin bukan yang strategik. Mereka kemudian melancarkan serangan pada tahun 1973, dalam satu percobaan untuk menguasai kembali wilayah yang telah direbut Israel.

Sampul majalah Life, 23 Juni 1967. Foto pasukan Israel di terusan Suez setelah perang. Menurut Chaim Herzog:

“Pada tanggal 19 Juni 1967, Pemerintah Israel melakukan pemungutan suara untuk mengembalikan Sinai kepada Mesir dan Dataran Tinggi Golan kepada Suriah sebagai imbalan atas terjadinya perjanjian perdamaian. Dataran Tinggi Golan akan dijadikan kawasan bebas militer, serta perjanjian khusus akan dibuat untuk persoalan Selat Tiran. Israel juga berketetapan untuk memulai perundingan dengan Raja Hussein dari Yordania mengenai perbatasan timurnya. [95]”

Keputusan Israel akan disampaikan kepada negara-negara Arab melalui Amerika Serikat. Namun, walaupun Amerika Serikat diberitahu tentang keputusan ini, ia tidak diberitahu bahwa Israel memerlukan bantuannya untuk menyampaikan keputusan ini kepada Mesir dan Suriah. Oleh sebab itu, beberapa ahli sejarah menyatakan bahwa Mesir dan Suriah tidak pernah menerima tawaran itu. [96]

Resolusi Khartoum membuat ketetapan bahwa "tidak akan ada perdamaian, pengakuan, atau perundingan dengan Israel". Namun, seperti yang diperhatikan Avraham Sela, resolusi Khartoum menandakan secara berkesan suatu peralihan tanggapan pertempuran negara-negara Arab daripada persoalan tentang kesahan Israel kepada persoalan wilayah dan perbatasan dan ini ditegaskan pada tanggal 22 November 1967 ketika Mesir dan Yordania menerima Resolusi Dewan Keamanan PBB 242. [97]




Kontroversi

Peristiwa-peristiwa pada saat Perang Enam Hari yang dramatik telah menimbulkan beberapa tuduhan serta teori-teori yang penuh dengan kontroversi.




Angkatan Bersenjata Israel membunuh tawanan perang Mesir

7 Juni 1967: Tentara Israel mengawal tawanan-tawanan perang Mesir di El Arish (Shabtai Tal).

Dalam sebuah pertemuan untuk Radio Israel pada tanggal 16 Agustus 1995, Aryeh Yitzhaki yang dahulu bertugas di Pusat Pengajian Sejarah Angkatan Bersenjata Israel di Universitas Bar-Ilan menuduh bahwa pasukan Israel melakukan pembunuhan sehingga 1.000 orang Mesir yang tak bersenjata dibunuh oleh Angkatan Bersenjata Israel. Tuduhan itu menerima perhatian yang meluas di Israel serta di seluruh dunia. Namun, Yitzhaki kemudian diketahui bahwa ia merupakan seorang ahli Partai Tsomet (partai politik sayap kanan Israel) yang diketuai oleh Rafael Eitan. Meir Pa'il, seorang politikus dan ahli sejarah yang pernah memperkerjakan Yitzhaki sebagai asistennya, menyatakan bahwa Yitzhaki mempunyai niat terselubung untuk mengalihkan perhatian orang dari penuduhan oleh Jendral Arye Biro tentang keikutsertaan Yitzhaki dalam pembunuhan 49 orang tawanan perang pada saat perang tahun 1956.

Walaupun tuduhan Yitzhaki tidak pernah disahkan, banyak anggota militer yang tampil ke depan semasa perdebatan negara di Israel yang penuh dengan kontroversi untuk mengatakan bahwa mereka telah menyaksikan pembunuhan tawanan tidak bersenjata. Ahli sejarah militer Israel, Uri Milstein, dilaporkan berkata bahwa banyak kejadian yang serupa telah dilakukan dalam peperangan itu: "Itu bukan dasar resmi, tetapi terdapat suasana bahwa perbuatan itu tidak salah. Sebagian letnan kolonel memutuskan untuk membuatnya, dan ada yang enggan berbuat demikian. Tetapi setiap orang tahu akan perkara itu".




Dukungan Amerika Serikat dan Britania Raya

Kapal USS Independence digunakan dalam Armada Keenam Amerika Serikat tahun 1967 Sebagian orang Arab mempercayai bahwa Amerika Serikat dan Britania Raya memberikan dukungan yang aktif kepada Angkatan Udara Israel. Tuduhan tentang dukungan pertempuran Amerika Serikat dan Britania Raya kepada Israel bermula pada hari kedua peperangan tersebut. Radio Kairo dan akhbar kerajaan Al-Ahram membuat beberapa tuduhan, antaranya: pesawat-pesawat dari kapal induk pesawat udara Amerika Serikat dan Britania Raya membuat serangan terhadap angkatan tentera Mesir pesawat-pesawat Amerika Serikat yang ditempatkan di Libya menyerang Mesir satelit mata-mata Amerika Serikat memberikan informasi kepada Israel.

Suriah dan Yordania membuat laporan-laporan yang serupa dalam siaran-siaran Radio Damaskus dan Radio Amman. Tuduhan ini juga disebut lagi oleh Presiden Mesir, Gamal Abdel Nasser, dalam ucapannya saat peletakan jabatannya pada tanggal 9 Juni 1967 (peletakan jabatannya ditolak). London dan Washington D.C. membantah tuduhan ini, dan tidak terdapat bukti yang mendukung tuduhan tersebut. Dalam lingkungan pemerintahan Amerika Serikat dan Britania Raya tuduhan ini dengan cepatnya dikenali sebagai "kebohongan besar". Walaupun begitu, tuduhan bahwa orang-orang Arab sedang bertempur dengan Amerika Serikat serta Britania Raya, dan bukan hanya dengan Israel, berterusan dalam dunia Arab.

Menurut Elie Podeh, ahli sejarah Israel: "Semua buku teks sejarah Mesir selepas tahun 1967 mengulangi tuduhan bahwa Israel melancarkan peperangan itu dengan dukungan dari Britania Raya dan Amerika Serikat. Hal itu juga mengasaskan perkaitan langsung antara perang 1967 dengan percobaan-percobaan imperialis yang dahulu untuk menguasai dunia Arab, dan menggambarkan Israel sebagai satu "kacung" imperialis. Pengulangan kisah dongeng ini, dengan hanya sedikit perubahan, dalam semua buku teks sejarah bermaksud bahwa semua kanak-kanak sekolah Mesir telah diindoktrinasikan dengan cerita sulit itu." Sebuah telegram Britania ke kubu-kubu Timur Tengah menyimpulkan: "Keengganan Arab untuk menolak semua versi palsu itu berasal sebagian dari keperluan untuk mempercayai bahwa tentara Israel tidak dapat menewaskan mereka dengan begitu saja tanpa bantuan luar." [101]

Ahli-ahli sejarah seperti Michael Oren memperdebatkan bahwa dengan mengenakan tuduhan salah terhadap Amerika Serikat dan Britania Raya kerana membantu Israel secara langsung.[102] Sebagai tindak balas terhadap tuduhan itu, negara-negara minyak Arab kemudian mengumumkan boikot minyak. 6 negara Arab memutuskan hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat dan Lebanon menarik kedutaan besarnya.[103]

Pemimpin-pemimpin Arab sedang mencoba memperoleh bantuan militer yang aktif dari Uni Soviet untuk diri sendiri. Namun, pihak Soviet mengetahui bahwa tuduhan tentang bantuan asing terhadap Israel itu tidak berasas, dan memberitahu diplomat-diplomat Arab di Moskwa tentang fakta ini. Walaupun Uni Soviet tidak mempercayai tuduhan-tuduhan itu, media Soviet meneruskan pemetikan tuduhan-tuduhan tersebut dan dengan itu, menipiskan kepercayaan laporan-laporan itu.

Dalam sebuah pertemuan pada tahun 1993, Robert McNamara, Menteri Pertahanan Amerika Serikat, menyatakan bahwa keputusan untuk menempatkan Armada Keenam Amerika Serikat di Laut Tengah bagian Timur untuk mempertahankan Israel, bahkan jika diperlukan, telah mencetuskan krisis antara Amerika Serikat dan Kesatuan Soviet. Armada tersebut sedang menjalani latihan tentera laut berhampiran dengan Gibraltar ketika itu. McNamara tidak menerangkan bagaimana krisis itu diatasi.

Dalam bukunya, Enam Hari, Jeremy Bowen, wartawan BBC, menuduh bahwa selama krisis itu, kapal-kapal dan pesawat-pesawat Israel membawa simpanan senjata Britania dan Amerika Serikat dari tanah Britania Raya.




Desakan Uni Soviet

Terdapat teori-teori bahwa seluruh perang pada tahun 1967 merupakan suatu percobaan yang tidak semestinya oleh Uni Soviet dengan tujuan meningkatkan ketegangan antara Jerman Barat dengan negara-negara Arab melalui dukungan Jerman Barat terhadap Israel.

Dalam sebuah artikel tahun 2003, Isabella Ginor memperincikan dokumen-dokumen GRU Soviet yang memuat rencana tersebut. Ia juga memperincikan informasi intelijen yang salah yang diberikan kepada Mesir, yang menyatakan tentang bertambahnya jumlah militer Israel besar-besaran. [104]




Tokoh penting yang terlibat:

Gamal Abdel Nasser, Presiden Mesir

Raja Hussein dari Yordania

U Thant, Sekjen Perserikatan Bangsa-bangsa

Levi Eshkol, Perdana Menteri Israel

Moshe Dayan, Menteri Pertahanan Israel, Jenderal Israel

Abba Eban, Menteri Luar Negeri Israel

Lyndon B. Johnson, Presiden Amerika Serikat

Robert McNamara, Menteri Pertahanan Amerika Serikat

Leonid Brezhnev, Pemimpin Soviet